• A boat with beautiful sunset.
  • Tree in field with blue sky.
  • Amaizing sunrise moment

Download

Berita

New Design

Recent Post

Rabu, 15 Juli 2009
Penerapan Inquiry Learning pada Pelajaran Desain Grafis

Penerapan Inquiry Learning pada Pelajaran Desain Grafis

Mata pelajaran desain grafis seperti Adobe Photoshop boleh jadi disangka sangat teknis dimana untuk menghasilkan sebuah gambar garis, misalnya, seorang desainer cukup menarik pena dari satu titik ke titik lainnya. Tetapi dengan kekayaan fasilitas filter (menu) pada software desain grafis, seorang guru dapat mengajak siswa untuk menganalisa langkah-langkah baru yang tentu akan menghasilkan variasi berbeda.

Ini berangkat sejak dulu pernah saya tidak setuju dengan definisi garis yang diberikan oleh guru gambar saya, yakni “garis adalah kumpulan titik-titik yang rapat dan sejajar”. Sebab saat saya membuat garis saya tidak sedang membuat banyak titik, tul… tul… tul… tetapi satu tarikan reeet…! Dari sini saya berpikir bahwa garis itu dapat difenisikan bagaimana saja tergantung bagaimana cara orang membuatnya.

Oke, mari kita mulai saja pelajaran ini…
Tingkat Awal: Mandiri
  1. Berikan beberapa file gambar (text layer, text rasterize, dots, foto, dsb.)
  2. Minta siswa untuk mengaplikasikan salah satu filter pada semua gambar tersebut
  3. Tanyakan kepada siswa apa dampak filter tersebut terhadap gambar
  4. Minta siswa untuk mendefinisikan fungsi filter itu sendiri secara detail. Pendapat yang paling mendekati dengan dampak yang dihasilkannya adalah yang paling dapat diterima. Boleh jadi merupakan kompilasi dari beberapa pendapat.

Tingkat Lanjut: Berkelompok
  1. Tunjukkan sebuah gambar hasil manipulasi sederhana dari Adobe Photoshop disertai dengan gambar aslinya,
  2. Tanyakan kepada siswa apa yang telah dilakukan pada foto aslinya sehingga menjadi gambar manipulasi
  3. Ajak siswa untuk mencoba mempraktekkan pendapatnya tadi
  4. Di akhir percobaan, minta siswa berkomentar sekali lagi terhadap pendapat pertamanya tadi. Siswa lain akan memiliki pendapat dan pengalaman yang berbeda, mereka dapat berbagi untuk menciptakan gambar yang paling mendekati dengan gambar hasil manipulasi.

Tingkat Mahir: Individu/Berkelompok
  1. Minta siswa untuk mengerjakan satu proyek dengan memberikan gambaran terhadap hasil akhirnya. Misalnya, poster tentang demonstrasi.
  2. Minta siswa membuat rancangan perkiraan desainnya. Misalnya siswa akan membuat kesan berdarah, kekerasan, konflik, warna kusam, dan semacamnya. Guru hanya mengeksplorasi seberapa kreatifkah siswa dalam menambahkan asesori untuk menambah citra rasa desainnya. Guru tidak perlu menyarankan siswa untuk menambahkan efek api, sebab itu dapat mencampuri imajinasi siswa.
  3. Minta siswa bekerja kelompok dalam waktu yang cukup. Bila dalam beberapa pertemuan, maka minta siswa untuk membagi pekerjaan menurut elemen-elemen yang dibutuhkan. Tetapi mereka harus membicarakan konsepnya bersama-sama.
  4. Setelah selesai, siswa menunjukkan hasil kerjanya, menyampaikan alasannya memilih desain tersebut, menjelaskan filosofinya, dan teknik pembuatannya. Sementara siswa yang lain memberikan komentar atas kesannya, menyarankan teknik tertentu atau tambahan elemen yang lain.
Kenapa Inquiry Learning?
Kegiatan pada inquiry learning ini bersifat terbuka, bebas, tanpa instruksi. Guru tidak memberikan langkah-langkah yang harus ditempuh siswa. Melainkan siswa yang menemukan sendiri langkah-langkah tersebut. Keuntungan dari metode ini adalah:
  1. Mengasah kemampuan analisis siswa
  2. Membangun kemandirian siswa untuk bekerja menurut kapasitasnya sendiri
  3. Membentuk kemajemukan, sehingga satu orang dapat menghargai pemikiran dan hasil kerja yang lain.

Poin-poin hikmah ini juga perlu untuk disampaikan kepada siswa dan orang tua, supaya mereka mengetahui pada hal apa mereka telah berkembang. Misalnya, setelah siswa mempresentasikan pekerjaannya sensei menulis laporan kepada orang tua “Hikaru telah berhasil menganalisis foto abstrak, dan mampu membuat gambar serupa tanpa bantuan guru. Pada sesi presentasi dia mendapatkan kritik dari teman-temannya, namun Hikaru menerimanya dengan baik sekali. Hikaru cukup terbuka pada kritik.”

Jadi disini keuntungan bagi guru adalah:
  1. Membantu penjabaran prestasi siswa dalam memberikan penjelasan kepada orang tua
  2. Relatif lebih sedikit dalam persiapan pelajaran

Namun harus diperhatikan bahwa:
  1. Kemungkinan hasil kerja siswa berbeda dari apa yang diharapkan oleh guru. Disini guru harus terampil mengapresiasi pekerjaan siswa.
  2. Guru tidak boleh mengintervensi pekerjaan siswa, sebab bila demikian maka tujuan dari pembelajaran inquiry learning menjadi hilang.
Senin, 13 Juli 2009
Menimbang perlunya Seragam Sekolah

Menimbang perlunya Seragam Sekolah

Seragam adalah hantu bagi wali murid baru di awal tahun ajaran. Pengeluarannya yang bisa mencapai 1/4 dari total anggaran pendidikan anak. Tulisan berikut ini berusaha menimbang perlunya seragam sekolah bagi siswa TK hingga SMA. Mari kita simak artikel di bawah ini:
Foto diatas
Apa pentingnya seragam wisuda bagi siswa TK?

Artikel: Penghapusan Seragam Sekolah

Mari kita kritisi. Tanggapan berikut ini adalah terhadap artikel tersebut, dengan mempertimbangkan faktor siswa secara luas, mulai TK hingga Mahasiswa. Poin dibuat berurutan sesuai dengan nomor urut pada artikel di atas.
Tanggapan Saya

Pertama, Seragam yang bermacam-macam jenisnya memberatkan bagi keluarga miskin. Di TK anak saya, misalnya, seragam sekolahnya saja mencapai 300.000 rupiah (tahun 2008). Sementara gaji bulanan ayahnya yang guru adalah 500.000 rupiah. Belum ditambah dengan biaya yang lain yang di total mencapai 1 juta, itu pun setelah didiskon. Saya sampai bersungut-sungut...

Kedua, Seringkali siswa disibukkan dengan masalah seragam. Seragam kotor, masih basah, tereselip entah kemana, membuat siswa tidak dapat berangkat sekolah. Kalau dipaksa ke sekolah dengan seragam berbeda, dia akan merasa minder sehingga mempengaruhi kualitas belajarnya. Saat mengetahui seragam yang dipakainya keliru, giliran anak saya bersungut-sungut...

Ketiga dan keempat, kerapian dan keindahan tidak cuma bisa ditampilkan dengan seragam. Dengan pakaian bebas pun seorang siswa bisa tampil rapi dan elegan. Secara massal, memang dengan berseragam lebih indah dipandang. Misalnya saat baris-berbaris pada waktu upacara. Tetapi upacara hanya sekali dalam seminggu, dan itupun hanya beberapa jam. Lagipula, apa anda tidak pernah mendapati kalau seragam sekolah tertentu desainnya kuno?

Kelima, kebanggaan orang tua ini terhadap anaknya yang berangkat sekolah atau pada seragamnya? Perlu dilakukan penelitian untuk membuktikan klaim ini.

Keenam, secara fisik boleh jadi begitu, meski sebenarnya lebih tepat disebut keseragaman. Sedangkan persatuan dan kesatuan itu adalah hal yang intrinsik, sehingga

sekali lagi perlu dibuktikan bagaimana perasaan siswa saat diberikan pilihan antara berseragam sekolah atau berpakaian bebas (demi obyektivitas, penelitian sebaiknya juga meliputi mahasiswa).Anda pernah menonton TV dong, bagaimana senioritas terkadang membuat mereka merasa berhak menganiaya para juniornya.

Ketujuh, saya tidak melihat pentingnya membedakan jenjang pendidikan dari TK hingga SMA. Kalau identitas itu diperlukan, mungkin untuk mengetahui identitas sekolahnya saja.

Kedelapan, saya setuju dengan pemantauan ini. Dalam kasus masuknya orang asing ke lingkungan sekolah ini juga beralasan. Hanya saja perlu dibandingkan dengan kampus, dimana orang umum bebas keluar masuk lingkungan sekolah sementara keamanan bisa tetap dijaga.

Kesembilan, logikanya agak aneh. Bagaimana dengan mahasiswa, apakah dengan tanpa berseragam mereka akan merasa liar? Perlu dilakukan penelitian untuk mengukur pengaruh seragam terhadap penurunan pelanggaran susila.

Foto diatas mahasiwa bisa tampil rapi dan disiplin meski tanpa seragam
Kesepuluh, saya tidak melihat signifikansi dari poin tersebut.

CATATAN: Foto diatas saya ambil dari link yang ada bila mengklik fotonya. Bila ada yang berkeberatan silakan menyampaikan pada saya melalui email giligpradhana@gmail.com
Keuntungan Bila Tanpa Seragam

Pertama, hemat, sehingga terjangkau oleh rakyat miskin

Kedua, tidak membebani psikologi siswa pada hal yang tidak berkaitan langsung dengan pendidikan. Mereka perlu fokus kepada pelajaran, tidak perlu dialihkan kepada hal lain yang tidak penting.

Foto disamping: Di banyak sekolah di Jepang, dan AS, siswa SD hanya diwajibkan berseragam pada saat olah raga.

Ketiga, keterbukaan. Siswa dapat tampil apa adanya, sesuai dengan karakter dan kesukaan mereka. Guru dapat melihat bagaimana masing-masing gaya siswa yang sebenarnya sehingga dapat memberikan penilaian tentang hal itu. Misalnya bila siswa suka mengenakan baju yang terlalu mencolok, guru bisa mendekati dan menyarankan sesuatu untuk kebaikan siswa.

Keempat, keindahan. Siswa dapat tampil serapi atau semenarik mungkin (dalam batas kesopanan). Ini adalah hal alamiah yang dimiliki oleh seorang anak muda.

Kelima, memunculkan toleransi. Siswa dapat tampil sesuai dengan kebiasaan/ budaya keluarganya, sehingga semua siswa akan dapat melihat kenyataan bahwa masing-masing itu berbeda, dan mereka akan berlatih untuk menghargai perbedaan. Bila ada siswa yang kurang mampu, maka tentu akan dapat dikenali, disini siswa yang lain dapat segera memberikan respon positif misalnya berupa bantuan.

Keenam, menciptakan obyektivitas. Ketika berbaur dengan banyak siswa yang lain, seorang tidak akan dapat dibedakan mana yang senior dan junior. Maka yang dihargai bukan lagi penampilannya, melainkan kualitas pribadinya.
Kesimpulan
Menimbang baik dan buruknya pemberlakuan seragam di sekolah, maka saya berpendapat:
  1. Jika sekolah mengadakan seragam, hendaknya memperhatikan kondisi ekonomi siswanya. Misalnya dengan membantu siswa yang kurang mampu.
  2. Seragam atau tidak, ukuran kesopanan dan kerapian hendaknya diukur dari standar Islam. Bila tidak akan terjadi perbedaan yang mencolok dan tidak perlu. Misalnya, betapa kapitalistiknya aturan "dilarang memakai sandal di kampus" lantaran dianggap tidak sopan (?) sementara yang berbaju ketat dan "kekong" (kethok bokong -maaf) dibiarkan berlalu lalang.
Jika ditanya, apakah dalam sekolah saya kelak akan menerapkan pemberlakuan seragam? saya akan jawab "hanya satu jenis seragam saja" untuk keperluan seremonial, karnaval, atau mengirim perwakilan sekolah, sementara untuk hari-hari kebanyakan siswa dibiarkan memilih baju kesukaannya untuk berangkat ke sekolah.
Nah, sekarang giliran anda mengkritisi...
Rabu, 08 Juli 2009
Meeting George Meegan

Meeting George Meegan

If I may say three words about him, those will be: modest, spiritful, and inspiring!
Tidak kusangka bahwa George Meegan yang kutemui adalah orang yang sangat luar biasa, ketika pertama kali kubaca artikelnya di internet tentang hikikomori. Ternyata dia sudah lebih dari separuh baya, ternyata dia adalah seorang sensei (bukan gakusei), ternyata dia senseinya teman-temanku, ternyata dia pemecah Guiness world of record (The Longest Walk), ternyata dia pengarang buku (Democracy Reaches the Kids), wah... belum cukup kejutannya, ketika aku mampir ke ruang kantornya masih sempat dibuat heran.

Ruangannya seperti museum, meja tamunya rusak salah satu kakinya, roda sepedanya bengkok, ha ha ha... benar-benar omoshiroi! Terakhir dia memberiku kenang-kenangan sebuah buku dan dua buah CD. Dia menyebutku "Young Gilig".

Apa yang kubicarakan dengannya insyaAllah kutulis dalam sesi yang berbeda, sekarang mengenang keunikannya dulu. Thank you George!
Breaking News
Loading...
Quick Message
Press Esc to close
Copyright © 2013 Gilig Guru All Right Reserved